Mengapa Banyak Orang Tua Setia Pada Golkar?

 

Disadur dari buku @Evello12 tentang Cognitive Bias

Pagi di Pasar Cikurubuk, Tasikmalaya, seperti biasa dipenuhi suara tawar-menawar, aroma rempah, dan langkah kaki yang tergesa. Di sudut warung kopi kecil yang nyempil di antara kios beras dan tukang tambal panci, tiga orang bapak-bapak duduk berbincang sambil menyeruput kopi tubruk panas.

Pak Udin yang mengenakan kopiah hitam dengan baju batik lawas duduk bersila, sesekali menyapu pandangan ke jalan pasar. Di sebelahnya ada Pak Rasta dan Pak Darsa, dua teman lamanya sejak zaman koperasi desa masih jadi pusat kegiatan warga.

“Jadi, kalian bakal pilih siapa nanti, Din?” tanya Pak Rasta sambil menepuk-nepuk kakinya. “Katanya sekarang banyak partai baru yang anak-anak muda bilang lebih jujur, lebih bersih. Partai hijau itu apa… Partai Perubahan? Yang itu tuh, yang calegnya mantan aktivis kampus.”

Pak Udin terkekeh, meletakkan gelas kopinya ke atas meja. “Ah, Rasta… kau mah dari dulu gitu. Tiap kali pemilu datang, selalu ngelirik partai baru. Saya mah, dari zaman dulu juga tetap Golkar. Udah terbukti.

Pak Darsa mengangguk pelan. “Betul. Saya juga masih ingat waktu Orba. Jalan dibangun, puskesmas ada, pupuk lancar. Itu semua waktu Golkar kuat. Sekarang mah partai baru cuma bisa ngomong doang, programnya bagus-bagus tapi belum tentu bisa jalan.”

Pak Rasta mencoba tersenyum, setengah ragu. “Tapi Din, jaman udah beda. Sekarang ini bukan cuma soal pengalaman, tapi soal siapa yang ngerti kondisi sekarang. Lihat aja tuh, yang muda-muda sekarang lebih milih partai yang ngajak diskusi, yang gak cuma bagi sembako.”

Pak Udin menyandarkan tubuhnya ke tiang kayu warung, matanya menerawang. “Saya bukannya gak ngerti, Ras. Tapi saya susah percaya sama partai yang baru muncul kemarin sore. Golkar itu udah seperti keluarga buat saya. Dari dulu, surat undangan kampung juga logonya Golkar. Yang bantu panen waktu paceklik juga orang-orang Golkar.”

Pak Darsa menyambung, suaranya pelan. “Kemarin anak saya juga ngomong, ‘Pak, cobain partai yang programnya digitalisasi UMKM’. Saya bilang, ‘Nak, yang bangun jalan dari dusun ke pasar siapa dulu?’ Dia cuma diem.”
Pak Rasta mengangguk perlahan, kemudian menunduk, meraih gelasnya. “Ya… mungkin saya juga terlalu berharap sama perubahan. Tapi emang, yang lama tuh udah kayak bagian dari hidup.”
Pak Udin menepuk pundak Pak Rasta sambil tersenyum, “Kadang, Ras, yang baru itu belum tentu tahu jalan pulang. Yang lama, meskipun jalannya udah retak-retak, kita tahu mesti lewat mana.”
Pasar tetap ramai. Di tengah keramaian itu, tiga orang tua tetap pada keyakinan mereka—bukan karena logika atau tawaran program mutakhir, tapi karena kenangan, pengalaman, dan rasa nyaman pada sesuatu yang sudah lama mereka anggap rumah. Tanpa sadar, mereka berjalan dalam conservatism bias yang halus dan mengakar dalam.

Sebuah Cognitive Bias dimana Mayoritas Menerima sebuah Keadaan Walaupun Keadaan itu Merugikan.

 

System Justification Dalam Kognisi Kolektif Masyarakat Indonesia. 

Sebuah Cognitive Bias dimana Mayoritas Menerima sebuah Keadaan Walaupun Keadaan itu Merugikan.

Di sebuah terminal bus yang ramai, pengumuman dari pengeras suara terdengar jelas, “Dilarang merokok di area ini. Mohon patuhi aturan demi kenyamanan bersama.”

Tulisan besar bertuliskan “AREA BEBAS ROKOK” juga terpampang di beberapa sudut. Namun, tak jauh dari situ, seorang pria paruh baya dengan santai menyalakan rokoknya. Ia menghisap dalam-dalam, menghembuskan asap ke udara tanpa rasa bersalah.

Beberapa penumpang yang duduk di bangku panjang melirik ke arahnya. Seorang ibu muda menutup hidungnya, menarik anak kecil yang duduk di sebelahnya menjauh. Seorang pria lain, yang tadi asyik membaca koran, menghela napas pelan, lalu melipat surat kabarnya, seakan menerima bahwa suasana sudah tidak lagi nyaman.

Seorang pemuda, Dika, memandang pria itu dengan ragu. Ia ingin menegur, tapi matanya melirik sekeliling. Tidak ada satu pun yang berbicara. Para petugas terminal tampak sibuk dengan urusan lain. Ia menelan ludah, merasa bahwa mungkin lebih baik diam saja, seperti yang lain.

Pria perokok itu menyadari beberapa tatapan yang mengarah padanya, tapi ia hanya tersenyum kecil, mengangkat bahu, lalu menghisap rokoknya lagi. Tidak ada yang benar-benar menegur, tidak ada yang memaksanya untuk mematikan rokoknya. Ia tahu aturan ada, tapi ia juga tahu bahwa aturan itu lemah ketika mayoritas orang memilih diam.

Dalam situasi ini, system justification bekerja dalam dua sisi. Yang merokok membenarkan tindakannya dengan berpikir, “Ah, dari dulu juga begini, lagian nggak ada yang benar-benar menegur.” Sementara yang tidak merokok, meski merasa terganggu, memilih diam dengan alasan, “Ya sudahlah, dari dulu juga orang pasti ada yang melanggar. Lagian, kalau ditegur nanti malah ribut.”

Di tengah masyarakat, aturan sering kali ada, tetapi jika mayoritas orang lebih memilih menghindari konfrontasi, maka aturan itu hanya menjadi simbol tanpa kekuatan nyata. Tanpa perlawanan atau teguran, perilaku yang melanggar akan terus berulang, bukan karena tidak ada hukum, tetapi karena tidak ada cukup dorongan sosial untuk menegakkannya.

Mengapa situasi ini terjadi? Hal ini kerap disebut sebagai System Justification dalam terminologi Cognitive Bias, yaitu kecenderungan psikologis individu atau kelompok untuk mempertahankan, membenarkan, dan mendukung sistem sosial, politik, atau ekonomi yang ada, meskipun sistem tersebut mungkin tidak adil atau merugikan mereka. Bias ini muncul karena manusia cenderung mencari stabilitas, ketertiban, dan rasa aman dalam struktur sosial yang telah ada.

oleh: DUDY RUDIANTO

Mengapa Banyak Anak Muda Stres Saat Pulang Kampung Berlebaran?

 

Hari Baik, Tanggal Baik dan Suggestibility Dalam Kognisi Kolektif Masyarakat Indonesia

Di rumah orang tuanya di kampung, Raka duduk di ruang tamu bersama keluarga besarnya. Ia baru saja pulang dari kota setelah menyelesaikan S2 dan berencana menikah sebelum kembali bekerja. Namun, rencana sederhana itu ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. “Jadi, kapan akadnya?” tanya Raka, mencoba memastikan jadwal.

Paklik Harto, saudara sepuh di keluarga, menghela napas panjang. “Nak, kalau mau menikah, nggak bisa sembarangan pilih tanggal. Harus cari hari baik dulu.” “Tapi, Lik, saya cuma punya waktu seminggu di sini. Kalau bisa, ya, akadnya sebelum saya balik,” jawab Raka dengan hati-hati.

Bu Marni, bibinya, langsung menyahut, “Nggak bisa begitu, Nak! Orang dulu sudah ngajari, kalau nikah di hari yang salah, bisa banyak rintangannya. Masa kamu yang sudah sekolah tinggi nggak percaya adat?” Raka mengusap wajahnya. “Saya bukan nggak percaya, Bu. Tapi kalau terlalu lama, nanti saya nggak bisa balik ke kantor tepat waktu.”

Paklik Harto mengangguk pelan. “Begini saja, besok kita undang Pak Mantri buat cari tanggal yang cocok. Percaya saja, ini demi kebaikanmu juga.” Raka ingin berdebat, tapi melihat wajah-wajah di sekitarnya, ia tahu percuma. Semua orang sudah sepakat. Jika ia bersikeras, ia hanya akan dianggap melawan adat dan membuat keluarga malu.

Beberapa hari kemudian, Pak Mantri akhirnya memberikan tanggal terbaik—dua minggu dari sekarang. Itu artinya, Raka harus mengubah rencana, meminta tambahan cuti yang belum tentu disetujui, atau kembali lagi ke kampung hanya untuk akad.

Di malam harinya, ia menghela napas panjang di teras rumah. Tunangannya, Sinta, duduk di sebelahnya. “Jadi kita harus nurut?” tanya Sinta pelan. Raka tersenyum lelah. “Sepertinya begitu. Kalau nggak, bisa jadi cerita turun-temurun kalau aku nikah di hari yang salah.”

Dalam situasi ini, suggestibility bekerja dalam kognisi kolektif masyarakat Indonesia. Raka awalnya memiliki rencana sendiri, tetapi tekanan sosial dan kepercayaan tradisional yang sudah lama tertanam membuatnya tidak punya pilihan selain mengikuti aturan yang diyakini lingkungannya. Dalam budaya kolektif, keputusan individu sering kali harus menyesuaikan dengan norma dan kepercayaan bersama, bahkan jika itu berarti mengorbankan kepentingan pribadi.

Suggestibility dalam kognisi kolektif masyarakat Indonesia memainkan peran penting dalam membentuk pola pikir, opini, dan perilaku sosial. Banyak fenomena di Indonesia yang menunjukkan bagaimana suggestibility memengaruhi cara masyarakat menerima informasi dan mengambil keputusan secara kolektif.

OLEH: DUDY RUDIYANTO

Kisah Seorang Aktivis Bernama Jono dan Implicit Stereotypes yang Menimpanya

Jono adalah seorang aktivis sukses. Ia sering terlibat dalam pelbagai gerakan sosial, termasuk pemberdayaan masyarakat. Dalam pemahaman “kita hidup di era modern, semua manusia harus berdaya tanpa diskriminasi SARA, termasuk gender.”

Jono adalah orang yang tidak suka melihat diskrimnasi gender. Di rumah, Ia terlibat urusan domestik. Nyapu, ngepel, dan bahkan tak pernah minta dilayani saat makan. Saat ditanya soal ini, Ia selalu menjawab “urusan rumah tanggung jawab bersama, ya suami, ya istri.” katanya.

Baginya, peremuan dan laki-laki setara, Tak ada itu yang lebih baik. Semua ciptaan Tuhan dan harus sejajar saling menghormati. Itulah sebabnya Jono kerap menjahit pada ayahnya yang sering memperlakukan Ibunya tanpa rasa hormat, terutama saat melihat Ibunya harus tergopoh-gopoh datang saat ayahnya memanggil.

Jono, punya seorang putri berusia 7 tahun. Ia sering bercerita pada anaknya untuk menjadi wanita mandiri, berpendidikan dan berdaulat dalam hidupnya. Ia sering menasehati anaknya untuk berani berpikir jika ada yang kecerdasannya sebagai seorang perempuan di sekolah atau dimana pun berada.

Istri Jono saat ini sedang hamil 2 bulan. Ia intens terlibat dalam menjalani hari-hari istrinya yang mengalami masa hamil muda. Ia bahkan banyak mengambil alih pekerjaan domestik sebelum akhirnya berangkat kerja.

Siang itu, diakhir pekan, kawan-kawan Jono datang ke rumah. Riuh mereka menyampaikan selamat atas kehamilan sang Istri. Jono dengan bangga berujar. Saya menghormati istri saya dan tubuhnya, makanya selang tujuh tahun baru hamil anak kedua. “Biar Ia sehat fisik dan mental” kata Jono.

Saat temannya berkata “Jon, rencanamu punya anak berapa?”. Jono berkata “berapa saja, yang jelas sampai lahir anak laki-laki, baru berhenti.”

Mendengar jawaban Jono, kawan-kawannya agak terbelalak. Mereka mengetahui siapa Jono selama ini dan penjelasannya begitu mengagetkan.

Apa yang Jono tak pernah sadari adalah Ia memiliki bias kognitif. Jono mengalami Implicit Stereotypes yaitu keyakinan atau asumsi otomatis yang dimiliki seseorang terhadap kelompok tertentu tanpa disadari secara penuh.

Stereotip ini bekerja di bawah tingkat kesadaran dan seringkali terbentuk dari paparan terus-menerus terhadap informasi budaya, media, atau pengalaman sosial sejak dini.

Karena bersifat implisit, individu dapat memiliki pandangan negatif atau positif terhadap kelompok tertentu bahkan ketika secara eksplisit menolak diskriminasi atau prasangka terhadap pandangan tersebut.

Dalam kasus Jono, Ia secara sadar menolak diskriminasi gender, Baginya perempuan dan laki-laki sama saja. Tetapi tanpa disadari, Ia justru menginginkan anak laki-laki agar utuh hidupnya. Jono jelas mengalami apa yang disebut dengan Implicit Stereotypes.

Oleh:  https://x.com/DudyRudianto

Sebentar Lagi Lebaran, Saat Kumpul Keluarga, Saatnya Menyadari Adanya Cognitive Bias Yang Disebut Dengan Lake Wobegone Effect.

 

 

Apa itu?

Yuk simak

Di sebuah pertemuan keluarga besar di Kampung, Pak Bambang duduk bersama saudara-saudaranya, menikmati hidangan khas lebaran. Seperti biasa, percakapan beralih ke topik yang sudah menjadi tradisi setiap kali mereka berkumpul, yaitu membandingkan generasi mereka dengan generasi sekarang.

“Anak-anak zaman sekarang itu beda ya. Kita dulu lebih mandiri, lebih gigih, nggak gampang menyerah,” ujar Pak Bambang sambil mengaduk teh manisnya.

Saudaranya, Bu Siti, mengangguk setuju. “Betul! Dulu kita sekolah susah payah, gak ada internet, gak ada Google. Sekarang semuanya instan, tapi malah jadi manja.”

Keponakan mereka, Rina, yang mendengarkan dari seberang meja, hanya tersenyum kecil. Ia ingin menjelaskan bahwa generasinya juga menghadapi tantangan tersendiri, seperti tekanan sosial dan persaingan kerja yang semakin ketat, tetapi ia tahu bahwa percakapan ini tidak akan mudah diubah.

Fenomena ini mencerminkan Lake Wobegone Effect dalam kognisi kolektif masyarakat Indonesia, di mana orang-orang cenderung melihat kelompok mereka sendiri lebih unggul dibandingkan kelompok lain. Dalam hal ini, generasi lebih tua merasa bahwa mereka lebih kuat, lebih disiplin, dan lebih baik dibandingkan generasi setelahnya, tanpa mempertimbangkan tantangan yang berbeda di setiap zaman.

Bias ini tidak hanya terjadi dalam perbandingan generasi, tetapi juga dalam konteks regional dan sosial. Misalnya, orang-orang dari daerah tertentu mungkin merasa bahwa budaya mereka lebih sopan dibandingkan daerah lain, atau lulusan universitas tertentu merasa lebih kompeten dibandingkan lulusan universitas lain. Dalam kehidupan sehari-hari, keyakinan ini sering kali memperkuat kebanggaan kelompok, tetapi juga bisa menghalangi pemahaman yang lebih objektif terhadap realitas yang ada.

Oleh:  Dudy Rudianto

Hindsight Bias Dalam Kognisi Kolektif Masyarakat Indonesia



1. Pernahkah Anda mendengar seseorang berkomentar tentang hubungan pertemanan atau percintaan yang gagal? Misalnya, ketika seorang teman dekat tiba-tiba menjauh atau sebuah hubungan asmara berakhir, orang-orang sering berkata, “Aku sudah tahu dari awal dia tidak baik untukmu,” atau “Jelas sekali hubungan kalian tidak akan bertahan lama.”

2. Padahal, pada saat hubungan itu masih berlangsung, banyak hal yang tampak baik-baik saja. Mungkin ada momen-momen kecil yang mengganggu, namun tidak cukup untuk membuat seseorang merasa yakin bahwa hubungan tersebut akan berakhir buruk.

3. Namun, setelah konflik muncul atau hubungan berakhir, semua tanda-tanda kecil yang sebelumnya diabaikan tiba-tiba dianggap sebagai “bukti” bahwa kegagalan itu sudah dapat diprediksi sejak awal.

4. Contohnya, seorang teman mungkin berkata, “Dulu kan dia sering telat balas chat, pasti dia tidak peduli sama kamu.” Padahal, pada saat itu, obrolan telat balas bisa saja dianggap hal yang wajar karena kesibukan atau alasan lain.

5. Setelah hubungan berakhir, tindakan kecil seperti itu direkayasa ulang menjadi indikator besar tentang karakter atau niat seseorang.