Lebih Heboh dari Ormas dan Ijazah Palsu, Pemakzulan Gibran Gegerkan Publik!

 

Oleh: Dudy Rudianto

Media ramai memberitakan Pemakzulan  Gibran  . Isu ini bahkan mengahlahkan pemberitaan soal Ormas/Premanisme, Pemberlakuan jam Malam dan bahkan berita soal Ijazah Palsu. Lalu, bagaimana tanggapan warga IG terhadap isu Pemakzulan Gibran?

 

Gambar

Menggunakan metrik perbandingan Comment vs Likes di IG, warga IG Indonesia memiliki interaksi sangat rendah terhadap isu Pemakzulan Gibran. Mereka lebih intens terhadap isu Jam Malam, Covid-19, Ormas, dan kabar PHK. Isu Pemakzulan? hanya dikomentari 2.529 percakapan.

Gambar

2.529 percapan soal isu Pemakzulan Gibran artinya hanya setara 1,36% percakapan dibandingkan isu lainnya seperti Ormas, Jam Malam, Covid-19, PHK dan Ijazah Palsu. Bandingkan dgn program #KDM soal Jam Malam? Dipercakapkan hingga 48 ribu komentar.

Gambar

Isu Pemakzulan Gibran juga terbilang paling kecil mengundang interaksi warga IG. Hanya 18 ribu tombol Likes berbanding 887 ribu interaksi pada program Jam Malam siswa atau bahkan 672 ribu interaksi pada isu Covid-19.

Gambar

Menggunakan metrik Comment vs Views, Isu Pemakzulan Gibran masuk dalam kuadran “PKB” Alias Pojok Kiri Bawah. Bahkan pada kuadran yang sama, isu ini kalah jauh menarik warga IG dibandingkan Ijazah Palsu dan isu PHK.

Gambar

Di IG, Pemakzulan Gibran ditonton sebanyak 346 ribu atau setara dengan 1,29% penayangan dibandingkan isu Jam Malam, Ormas, PHK, Ijazah Palsu dan Covid-19. Nampaknya warga lebih asik melihat aksi satpol PP & aparat di Jawa Barat membatasi anak sekolah untuk berkeliaran di jalan

Gambar

Isu Pemakzulan Gibran berdasarkan data di atas adalah isu elitis. Pengguna IG di Indonesia memiliki interaksi yang sangat rendah dibandingkan isu lainnya yang memiliki implikasi langsung terhadap kehidupan sehari-hari seperti PHK, Covid, Premanisme ataupun kebijakan Jam Malam

 

#gibran #evello #pemakzulangibran #ormas #ijazahjokowi

Mengapa Ada Yang Percaya Kalau Padamnya Listrik di Bali Karena Adanya Konspirasi?

 

by: Dudy Rudianto

Analisa Illusion of External Agency (Cognitive Bias).

Sebelum masuk ke Bali, banyak percakapan tentang bagaimana Black Out terjadi disejumlah negara Eropa. Walau tak banyak, percakapan mengarah pada adanya teori konspirasi. Termasuk padamnya listrik di Bali. Kok bisa?
Mereka yang percaya adanya teori konspirasi dibalik sebuah kejadian besar, umumnya memang terjangkit cognitive bias yang disebut dengan Illusion of External Agency. Apa itu?
Illusion of External Agency adalah bias kognitif di mana seseorang meyakini bahwa tindakan, pemikiran, atau keputusan mereka dipengaruhi atau dikendalikan oleh kekuatan eksternal, meskipun sebenarnya berasal dari diri mereka sendiri.
Bias ini sering muncul dalam berbagai konteks, termasuk pengalaman spiritual, teori konspirasi, serta fenomena psikologis seperti otomatisasi perilaku atau delusi pengaruh.
Fenomena ini berakar pada kecenderungan manusia untuk mencari makna dan pola dalam peristiwa, terutama ketika menghadapi ketidakpastian atau peristiwa yang sulit dijelaskan.
Dalam kondisi tertentu, individu mungkin merasa bahwa ada kekuatan luar yang memengaruhi pilihan mereka, padahal keputusan tersebut murni berasal dari proses kognitif internal.
Bias ini menyebabkan sebagian masyarakat kita mudah percaya pada narasi hasil pemilu sudah diatur oleh KPU atau adanya kekuatan luar yang mengintervensi hasil pemilu.
Mereka percaya percaya bahwa siapa pun yang menang, keputusan sebenarnya sudah dibuat jauh sebelumnya oleh kelompok elit yang “mengendalikan” negara.
Apakah bias ini ada kaitannya dengan sebagian publik kita yang selalu menggoreng isu bahwa mantan Presiden Jokowi adalah antek global, antek china, agen asing dan lain sebagainya? Jawabannya adalah Ya.. Mengapa?
Jokowi adalah fenomena politik yang mengagetkan banyak pihak, utamanya terkait masuknya beliau ke gelanggang politik nasional dan mematahkan banyak kandidat lainnya yang sebelumnya menjadi bagian dari elit politik nasional. Fenomena tak terjelaskan ini kemudian….
menyeret banyak pihak tanpa sadar untuk menggunakan narasi illusion of external agency sebagai penjelasan. Apa itu? Adanya kekuatan lain diluar Jokowi yang mengendalikan dirinya, sehingga kecerdasan politiknya menjadi di atas rata-rata.
Mengapa tanpa disadari banyak elit & politisi menggunakan bias illusion of external agency untuk melawan Jokowi? Jawabannya karena bias Ini membantu menjaga citra calon atau partai di mata publik dengan menyalahkan faktor eksternal yg tak dapat mereka kontrol. Selesai

 

Sekolah Rakyat, Program Keren @Prabowo , Tapi Sayang Tak Banyak Publik Yang Tahu.

 

Analitik Berdasarkan Isu Terkini di Instagram

 

Sebelum dilanjut, pahami dulu apa itu program Sekolah Rakyat. Sekolah Rakyat adalah sekolah berasrama 100 persen gratis bagi anak-anak dari keluarga miskin. Cakupan sekolah ini adalah SD, SMP, dan SMA. Program ini dirancang agar memutus rantai kemiskinan. Keren kan!!!

Dalam kuadran kinerja

, sepekan terakhir Sekolah Rakyat berada pada posisi kiri bawah. Kuadran paling minim dilihat oleh publik. Kalah dibanding isu Ormas, PHK, Mangga Ilegal dan bahkan Ijazah Palsu. Kok bisa? Yuk simak analitik selanjutnya.

 

Pendorong utama program sekolah rakyat didominasi oleh akun2 resmi pemerintah. Tiga yang terbesar diantaranya adalah akun IG

,

dan

. Sementara…..

Sementara, isu lain seperti Ijaza Palsu misalnya… didorong oleh akun media besar, muncul dalam forum2 diskusi keren dan penuh dengan drama. Termasuk…..

Termasuk keterlibatan akun2 berpengaruh dan mengakar kuat bagi pengikutnya dalam isu seksi lainnya seperti PHK.

ika dilihat berdasarkan intensitas percakapan, sekolah rakyat memiliki share index percakapan hanya 4,7% dibandingkan percakapan pada isu lainnya seperti Ormas, Bea Cukai, PHK atau bahkan Ijazah Palsu.

 

 

Jika pola ini terus berlanjut, walaupun sekolah rakyat terbilang keren, publik tidak akan tahu bahwa pemerintah bekerja. Attentional Bias membuat ingatan publik akan selektif bahwa PHK marak di era Presiden Prabowo.

 

Oleh: DUDY RUDIANTO

 

Pengaruh dari Cognitive Bias Availability Heuristic Membahayakan Kita

Apakah kamu pernah mendengar seseorang yang takut periksa kesehatan ke laboratorium hanya karena takut kelihatan semua penyakitnya? “Ah mending gak tahu saya punya penyakit apa daripada tahu malah tambah sakit” kata Budi sambil menghembuskan asap rokok .

Budi merasa tubuhnya sering lemas dan mudah lelah dalam beberapa bulan terakhir. Istrinya menyarankan agar ia segera pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Namun, Budi menolak dengan tegas

“Aku takut kalau diperiksa malah ketahuan penyakit yang parah,” katanya dengan nada ragu.

Istrinya mencoba meyakinkan, “Tapi kalau cepat ketahuan, kan, bisa cepat diobati. Justru lebih bahaya kalau dibiarkan.”

Budi tetap bersikeras. Ia teringat pada beberapa cerita dari teman-temannya yang pergi ke rumah sakit dalam keadaan sehat-sehat saja, tetapi setelah diperiksa, malah didiagnosis dengan penyakit serius.
Ia pun teringat cerita pamannya yang hanya mengeluhkan sakit perut ringan, lalu setelah diperiksa, ternyata harus menjalani operasi besar. Semua ingatan ini membuatnya semakin yakin bahwa pergi ke rumah sakit bisa berujung pada kabar buruk.
Yang tidak disadari Budi adalah bahwa ia sedang terjebak dalam Availability Heuristic.
Ia lebih mudah mengingat cerita orang-orang yang mengalami kejadian buruk setelah diperiksa ke rumah sakit, dibandingkan dengan ribuan pasien lainnya yang menjalani pemeriksaan rutin dan mendapatkan hasil yang baik.
Informasi yang paling mudah diingat bukan berarti paling sering terjadi, tetapi otaknya secara otomatis menilai bahwa apa yang ia ingat itulah yang paling umum.
Setelah beberapa minggu, kondisi Budi semakin memburuk. Akhirnya, ia terpaksa ke dokter. Ternyata, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa ia mengalami anemia ringan yang bisa diatasi dengan perubahan pola makan dan suplemen. Ia pun lega dan menyesali ketakutannya yang berlebihan.
Dari pengalaman Budi, dapat disimpulan jika Availability Heuristic adalah kecenderungan manusia untuk menilai probabilitas atau signifikansi suatu peristiwa berdasarkan seberapa mudah contoh-contohnya terlintas dalam ingatan.
Apa yang Budi alami kerap terjadi dalam kognisi kolektif masyarakat Indonesia. Misalnya Stigma Terhadap Kelompok Sosial Tertentu. Stigma ini datang karena pengaruh dari Cognitive Bias Availability Heuristic.
Pernah punya pengalaman serupa?

 

@bengkeldodo dan Lingkarannya: Sebuah Studi Tentang Persepsi Kelompok

 

Pernahkah Anda merasa bahwa kelompok lain tampak begitu seragam, seolah-olah semua anggotanya memiliki pola pikir, kebiasaan, atau karakteristik yang sama?

Pernahkan Anda berpikir bahwa @bengkeldodo
dan siapapun yang dekat dengan beliau tampak sama?

Pernahkah Anda memandang bahwa siapapun dalam lingkaran pertemanan
@bengkeldodo tampak serupa?

Aktivis di medsos, tertarik dengan isu sosial dan politik?

Sementara kelompok Anda sendiri terasa lebih beragam, penuh dengan individu yang unik dan memiliki berbagai perspektif?

Jika ya…. Jika ya, Anda mungkin sedang mengalami Out-Group Homogeneity Bias.

Bias ini adalah kecenderungan melihat kelompok lain (out-group) sebagai satu kesatuan homogen, sementara kelompok sendiri (in-group) dipersepsikan lebih kompleks dan variatif.

Fenomena ini terjadi hampir di semua aspek sosial—baik politik, etnis, budaya, hingga persaingan bisnis.

Qleh: https://x.com/DudyRudianto

Cerita Seorang Wanita Muda Bobol Tabungan Demi Jam Tangan Mewah

 

Oleh: Dudy Rudianto

Sebuah Cerita Berdasarkan Cognitive Bias Post-Purchase Rationalization

Langit sore Jakarta mulai menguning ketika Tantria berjalan di pelataran mal mewah di bilangan Senayan, jemarinya sibuk menggulir layar ponsel sambil sesekali tersenyum sendiri. Jemarinya berhenti di sebuah iklan Instagram—seorang wanita muda dengan blazer putih, rambut tergerai rapi, dan pergelangan tangan yang dihiasi jam berkilau dari merek yang sama dengan yang kini melingkar di tangannya.
Ia mengangkat tangannya sedikit, melihat jam yang baru sebulan lalu ia beli—jam Swiss, seharga nyaris dua puluh juta. Tabungannya terkuras, bonus tahunan lenyap dalam sekali transaksi. Tapi Tantria tidak pernah menyesal. “Worth it banget,” gumamnya pelan, duduk di bangku taman kecil dekat lobi mal, mengamati pantulan logam jam itu di bawah cahaya temaram. “Jam ini bukan sekadar penunjuk waktu. Ini simbol kerja kerasku. Aku layak.”
Sejak ia membeli jam itu, iklan demi iklan muncul di linimasa. Semua senada: perempuan percaya diri, berdikari, sukses, menatap dunia dengan tenang sambil mengenakan jam yang serupa. Seolah-olah jam itu adalah kunci dari kepercayaan diri, status, dan gaya hidup mapan yang sudah lama Tantria dambakan.
Ia ingat sempat ragu saat hendak menggesek kartu debitnya. Tapi sekarang, setiap kali melihat dirinya di cermin, ada perasaan puas. “Ini bukan soal harga,” pikirnya lagi. “Ini soal siapa diriku sekarang. Aku bukan Tantria yang dulu. Aku versi baru—yang tahu nilai dirinya.”
Ia tidak pernah berpikir tentang dana darurat yang seharusnya masih ada, atau kesempatan lain yang bisa ia gunakan untuk uang sebanyak itu. Dalam pikirannya, keputusan membeli jam tangan itu adalah bukti transformasi. Bukti bahwa ia naik kelas. Bukti bahwa ia telah ‘sampai’ di suatu tempat yang sebelumnya hanya bisa ia lihat lewat layar.
Tantria tidak menyadari bahwa dirinya kini berjalan dalam lingkaran bias yang lembut namun menjerat. Post-purchase rationalization. Ia tidak lagi melihat pilihan itu sebagai keputusan emosional sesaat, tetapi sebagai cermin logika yang ia bentuk sendiri: bahwa ia pantas, bahwa ia berhasil, bahwa jam tangan itu adalah bukti—bukan beban
Dan iklan-iklan yang terus muncul di ponselnya, entah kenapa, selalu datang di waktu yang tepat—seakan menegaskan ulang pilihannya, menguatkan keyakinannya bahwa ia tidak keliru. Bahwa jam itu memang sepenuhnya layak dibeli.
50
52