Cerita Seorang Wanita Muda Bobol Tabungan Demi Jam Tangan Mewah

 

Oleh: Dudy Rudianto

Sebuah Cerita Berdasarkan Cognitive Bias Post-Purchase Rationalization

Langit sore Jakarta mulai menguning ketika Tantria berjalan di pelataran mal mewah di bilangan Senayan, jemarinya sibuk menggulir layar ponsel sambil sesekali tersenyum sendiri. Jemarinya berhenti di sebuah iklan Instagram—seorang wanita muda dengan blazer putih, rambut tergerai rapi, dan pergelangan tangan yang dihiasi jam berkilau dari merek yang sama dengan yang kini melingkar di tangannya.
Ia mengangkat tangannya sedikit, melihat jam yang baru sebulan lalu ia beli—jam Swiss, seharga nyaris dua puluh juta. Tabungannya terkuras, bonus tahunan lenyap dalam sekali transaksi. Tapi Tantria tidak pernah menyesal. “Worth it banget,” gumamnya pelan, duduk di bangku taman kecil dekat lobi mal, mengamati pantulan logam jam itu di bawah cahaya temaram. “Jam ini bukan sekadar penunjuk waktu. Ini simbol kerja kerasku. Aku layak.”
Sejak ia membeli jam itu, iklan demi iklan muncul di linimasa. Semua senada: perempuan percaya diri, berdikari, sukses, menatap dunia dengan tenang sambil mengenakan jam yang serupa. Seolah-olah jam itu adalah kunci dari kepercayaan diri, status, dan gaya hidup mapan yang sudah lama Tantria dambakan.
Ia ingat sempat ragu saat hendak menggesek kartu debitnya. Tapi sekarang, setiap kali melihat dirinya di cermin, ada perasaan puas. “Ini bukan soal harga,” pikirnya lagi. “Ini soal siapa diriku sekarang. Aku bukan Tantria yang dulu. Aku versi baru—yang tahu nilai dirinya.”
Ia tidak pernah berpikir tentang dana darurat yang seharusnya masih ada, atau kesempatan lain yang bisa ia gunakan untuk uang sebanyak itu. Dalam pikirannya, keputusan membeli jam tangan itu adalah bukti transformasi. Bukti bahwa ia naik kelas. Bukti bahwa ia telah ‘sampai’ di suatu tempat yang sebelumnya hanya bisa ia lihat lewat layar.
Tantria tidak menyadari bahwa dirinya kini berjalan dalam lingkaran bias yang lembut namun menjerat. Post-purchase rationalization. Ia tidak lagi melihat pilihan itu sebagai keputusan emosional sesaat, tetapi sebagai cermin logika yang ia bentuk sendiri: bahwa ia pantas, bahwa ia berhasil, bahwa jam tangan itu adalah bukti—bukan beban
Dan iklan-iklan yang terus muncul di ponselnya, entah kenapa, selalu datang di waktu yang tepat—seakan menegaskan ulang pilihannya, menguatkan keyakinannya bahwa ia tidak keliru. Bahwa jam itu memang sepenuhnya layak dibeli.
50
52

SHARE

HEADLINES