Mengapa Ada Yang Percaya Kalau Padamnya Listrik di Bali Karena Adanya Konspirasi?

 

by: Dudy Rudianto

Analisa Illusion of External Agency (Cognitive Bias).

Sebelum masuk ke Bali, banyak percakapan tentang bagaimana Black Out terjadi disejumlah negara Eropa. Walau tak banyak, percakapan mengarah pada adanya teori konspirasi. Termasuk padamnya listrik di Bali. Kok bisa?
Mereka yang percaya adanya teori konspirasi dibalik sebuah kejadian besar, umumnya memang terjangkit cognitive bias yang disebut dengan Illusion of External Agency. Apa itu?
Illusion of External Agency adalah bias kognitif di mana seseorang meyakini bahwa tindakan, pemikiran, atau keputusan mereka dipengaruhi atau dikendalikan oleh kekuatan eksternal, meskipun sebenarnya berasal dari diri mereka sendiri.
Bias ini sering muncul dalam berbagai konteks, termasuk pengalaman spiritual, teori konspirasi, serta fenomena psikologis seperti otomatisasi perilaku atau delusi pengaruh.
Fenomena ini berakar pada kecenderungan manusia untuk mencari makna dan pola dalam peristiwa, terutama ketika menghadapi ketidakpastian atau peristiwa yang sulit dijelaskan.
Dalam kondisi tertentu, individu mungkin merasa bahwa ada kekuatan luar yang memengaruhi pilihan mereka, padahal keputusan tersebut murni berasal dari proses kognitif internal.
Bias ini menyebabkan sebagian masyarakat kita mudah percaya pada narasi hasil pemilu sudah diatur oleh KPU atau adanya kekuatan luar yang mengintervensi hasil pemilu.
Mereka percaya percaya bahwa siapa pun yang menang, keputusan sebenarnya sudah dibuat jauh sebelumnya oleh kelompok elit yang “mengendalikan” negara.
Apakah bias ini ada kaitannya dengan sebagian publik kita yang selalu menggoreng isu bahwa mantan Presiden Jokowi adalah antek global, antek china, agen asing dan lain sebagainya? Jawabannya adalah Ya.. Mengapa?
Jokowi adalah fenomena politik yang mengagetkan banyak pihak, utamanya terkait masuknya beliau ke gelanggang politik nasional dan mematahkan banyak kandidat lainnya yang sebelumnya menjadi bagian dari elit politik nasional. Fenomena tak terjelaskan ini kemudian….
menyeret banyak pihak tanpa sadar untuk menggunakan narasi illusion of external agency sebagai penjelasan. Apa itu? Adanya kekuatan lain diluar Jokowi yang mengendalikan dirinya, sehingga kecerdasan politiknya menjadi di atas rata-rata.
Mengapa tanpa disadari banyak elit & politisi menggunakan bias illusion of external agency untuk melawan Jokowi? Jawabannya karena bias Ini membantu menjaga citra calon atau partai di mata publik dengan menyalahkan faktor eksternal yg tak dapat mereka kontrol. Selesai

 

Sekolah Rakyat, Program Keren @Prabowo , Tapi Sayang Tak Banyak Publik Yang Tahu.

 

Analitik Berdasarkan Isu Terkini di Instagram

 

Sebelum dilanjut, pahami dulu apa itu program Sekolah Rakyat. Sekolah Rakyat adalah sekolah berasrama 100 persen gratis bagi anak-anak dari keluarga miskin. Cakupan sekolah ini adalah SD, SMP, dan SMA. Program ini dirancang agar memutus rantai kemiskinan. Keren kan!!!

Dalam kuadran kinerja

, sepekan terakhir Sekolah Rakyat berada pada posisi kiri bawah. Kuadran paling minim dilihat oleh publik. Kalah dibanding isu Ormas, PHK, Mangga Ilegal dan bahkan Ijazah Palsu. Kok bisa? Yuk simak analitik selanjutnya.

 

Pendorong utama program sekolah rakyat didominasi oleh akun2 resmi pemerintah. Tiga yang terbesar diantaranya adalah akun IG

,

dan

. Sementara…..

Sementara, isu lain seperti Ijaza Palsu misalnya… didorong oleh akun media besar, muncul dalam forum2 diskusi keren dan penuh dengan drama. Termasuk…..

Termasuk keterlibatan akun2 berpengaruh dan mengakar kuat bagi pengikutnya dalam isu seksi lainnya seperti PHK.

ika dilihat berdasarkan intensitas percakapan, sekolah rakyat memiliki share index percakapan hanya 4,7% dibandingkan percakapan pada isu lainnya seperti Ormas, Bea Cukai, PHK atau bahkan Ijazah Palsu.

 

 

Jika pola ini terus berlanjut, walaupun sekolah rakyat terbilang keren, publik tidak akan tahu bahwa pemerintah bekerja. Attentional Bias membuat ingatan publik akan selektif bahwa PHK marak di era Presiden Prabowo.

 

Oleh: DUDY RUDIANTO

 

Pengaruh dari Cognitive Bias Availability Heuristic Membahayakan Kita

Apakah kamu pernah mendengar seseorang yang takut periksa kesehatan ke laboratorium hanya karena takut kelihatan semua penyakitnya? “Ah mending gak tahu saya punya penyakit apa daripada tahu malah tambah sakit” kata Budi sambil menghembuskan asap rokok .

Budi merasa tubuhnya sering lemas dan mudah lelah dalam beberapa bulan terakhir. Istrinya menyarankan agar ia segera pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Namun, Budi menolak dengan tegas

“Aku takut kalau diperiksa malah ketahuan penyakit yang parah,” katanya dengan nada ragu.

Istrinya mencoba meyakinkan, “Tapi kalau cepat ketahuan, kan, bisa cepat diobati. Justru lebih bahaya kalau dibiarkan.”

Budi tetap bersikeras. Ia teringat pada beberapa cerita dari teman-temannya yang pergi ke rumah sakit dalam keadaan sehat-sehat saja, tetapi setelah diperiksa, malah didiagnosis dengan penyakit serius.
Ia pun teringat cerita pamannya yang hanya mengeluhkan sakit perut ringan, lalu setelah diperiksa, ternyata harus menjalani operasi besar. Semua ingatan ini membuatnya semakin yakin bahwa pergi ke rumah sakit bisa berujung pada kabar buruk.
Yang tidak disadari Budi adalah bahwa ia sedang terjebak dalam Availability Heuristic.
Ia lebih mudah mengingat cerita orang-orang yang mengalami kejadian buruk setelah diperiksa ke rumah sakit, dibandingkan dengan ribuan pasien lainnya yang menjalani pemeriksaan rutin dan mendapatkan hasil yang baik.
Informasi yang paling mudah diingat bukan berarti paling sering terjadi, tetapi otaknya secara otomatis menilai bahwa apa yang ia ingat itulah yang paling umum.
Setelah beberapa minggu, kondisi Budi semakin memburuk. Akhirnya, ia terpaksa ke dokter. Ternyata, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa ia mengalami anemia ringan yang bisa diatasi dengan perubahan pola makan dan suplemen. Ia pun lega dan menyesali ketakutannya yang berlebihan.
Dari pengalaman Budi, dapat disimpulan jika Availability Heuristic adalah kecenderungan manusia untuk menilai probabilitas atau signifikansi suatu peristiwa berdasarkan seberapa mudah contoh-contohnya terlintas dalam ingatan.
Apa yang Budi alami kerap terjadi dalam kognisi kolektif masyarakat Indonesia. Misalnya Stigma Terhadap Kelompok Sosial Tertentu. Stigma ini datang karena pengaruh dari Cognitive Bias Availability Heuristic.
Pernah punya pengalaman serupa?